Selasa, 12 Mei 2015

EKONOMI ISLAM BICARA
                                HARGA BAHAN BAKAR MINYAK      
Oleh: Achmat Subekan*)



Harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi pembicaraan hangat bangsa Indonesia.  Keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi mulai dapat diterima oleh masyarakat, termasuk dunia usaha. Sejak orde baru, harga BBM banyak disubsidi oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha hingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan memberikan subsidi harga BBM mulai terasa dampak negatifnya bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana yang dikeluarkan untuk memberikan subsidi harga BBM telah menjadi beban berat bagi APBN. Terlebih lagi BBM yang siap pakai di Indonesia memang didatangkan dari luar negeri (impor). Walaupun ini terasa ironis bagi Indonesia yang kaya raya akan sumber daya mineral (termasuk minyak bumi), kenyataan inilah yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Tulisan ini tidak membahas mengenai hal tersebut, tetapi mengenai penetapan harga BBM yang dewasa ini menjadi pembicaraan nasional. Penulis akan melihatnya dari kacamata ekonomi Islam. Pendapat dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai alternatif masukan dalam menentukan harga BBM di samping pendapat-pendapat yang selama ini beredar.
Dalam sebuah riwayat, Nabi saw pernah diminta untuk menentukan harga komoditi pada saat harga mengalami kenaikan yang di luar kebiasaan (inflasi). Mendapatkan permintaan tersebut, Nabi menjawab dengan: ”Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan, melapangkan, dan memberi rezeki. Dan aku sungguh berharap kelak aku berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan  kedzaliman dalam masalah darah dan harta” (HR. Muslim).
Jawaban tersebut mengisyaratkan bahwa Nabi saw menolak untuk menetapkan harga. Di samping sebagai pimpinan umat, Nabi saw juga merupakan Rasul Allah yang akan ditaati semua perkataan dan ketetapannya seandainya beliau mau menetapkan harga suatu barang. Namun, posisi tersebut tidak beliau gunakan dalam menetapkan harga komoditi. Beliau kuatir apabila hal itu dilakukan akan menimbulkan kedzaliman di masyarakat. Harga dibiarkan berlaku sebagaimana mekanisme pasar, sesuai dengan keseimbangan antara penawaran (supply) dan  permintaan (demand).
Mekanisme pasar tentu juga berlaku dalam penetapan harga BBM. Harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Penetapan harga oleh pemerintah, termasuk memberikan subsidi sehingga harga yang ditetapkan lebih rendah daripada yang seharusnya ternyata banyak menimbulkan masalah. Walaupun subsidi harga tersebut dimaksudkan agar masyarakat miskin dapat menjangkaunya, dalam banyak kasus hal ini terasa seperti mengatasi masalah dengan masalah. Subsidi harga BBM telah menimbulkan banyak masalah yang tidak mudah untuk mengatasinya.
Di antara masalah yang muncul akibat subsidi harga BBM antara lain pemberian subsidi yang dianggap tidak adil. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya yang semestinya tidak berhak mendapatkan subsidi. BBM bersubsidi lebih banyak dibeli oleh orang kaya daripada orang miskin. Pemilik mobil yang notabene lebih kaya daripada pemilik motor akan membeli bensin lebih banyak. Lebih-lebih dibandingkan dengan masyarakat yang tidak memiliki kendaraan bermotor, mereka tidak pernah membeli bensin ataupun solar yang berarti mereka tidak menikmati subsidi BBM secara langsung.
Masalah lain yang muncul adalah adanya penyelundupan. Masalah ini telah banyak merugikan keuangan negara, bahkan untuk melakukan pengamanan/pencegahan terhadap hal ini diperlukan biaya yang tidak sedikit. Para penyelundup berhasil memperoleh keuntungan yang besar. Demikian juga dengan masyarakat luar negeri yang menikmati penyulundupan tersebut. Biaya pengamanan akan lebih besar lagi dengan adanya rencana pemberlakuan harga ganda terhadap BBM bersubsidi. Penetapan harga ganda juga berpotensi menimbulkan bentrok horizontal. Anggota masyarakat merasa iri kepada anggota masyarakat lainnya karena merasa diperlakukan tidak adil.
Subsidi harga BBM juga memicu masyarakat untuk memiliki kendaraan  bermotor (mobil) yang sebenarnya masih di luar kemampuan ideal ekonominya. Mobil semakin membanjir di jalanan kota-kota di Indonesia. Kemacetan telah menjadi hal lumrah hampir di semua kota besar di Indonesia. Kemacetan tersebut juga telah menimbulkan kerugian ekonomi, waktu, dan kerugian-kerugian lainnya. Penetapan harga juga memicu sebagian masyarakat untuk melakukan penimbunan apabila ada rencana penaikan harga. Di samping menimbulkan kerugian pada masyarakat, penimbunan dengan maksud memperoleh keuntungan (spekulasi)  juga merupakan tindakan haram dalam pandangan ekonomi Islam.
Apabila subsidi BBM ditiadakan, bukankah harga BBM akan semakin tinggi dan masyarakat miskin semakin tidak mampu membelinya? Guna mengulas pertanyaan ini ada baiknya dirujuk Hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa: “Orang-orang muslim bersekutu dalam hal rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud). Hadis tersebut telah menyemangati para pendiri bangsa ini sehingga muncul pernyataan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Demikianlah yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kata “api” dalam hadis di atas melambangkan  energi dan segala sumber energi, termasuk minyak bumi dan sumber daya mineral lainnya. Semua minyak bumi dan sumber daya tambang lainnya merupakan milik bersama bangsa. Semangat kepemilikan bersama ini bukan hanya pernyataan dalam konstitusi, tetapi juga merupakan semangat religi umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia.   
Dalam mengelola kekayaan alam berupa minyak bumi, Pemerintah dengan PT Pertamina-nya harus memiliki kesadaran sedang menjalankan semangat kepemilikan bersama tersebut. Penentuan harga sesuai dengan mekanisme pasar sangat memungkinkan Pemerintah (Pertamina) mendapatkan keuntungan yang besar. Keuntungan tersebut  merupakan milik semua rakyat Indonesia. Keuntungan tersebut digunakan untuk menolong masyarakat miskin dalam menghadapi kehidupan ekonomi dan sosialnya. Masyarakat miskin diberi subsidi dengan cara memberdayakan mereka sehingga bisa keluar dari kemiskinan yang dideritanya. Subsidi kepada si miskin tidak cukup hanya dengan memberikan tambahan penghasilan misalnya dengan bantuan langsung tunai. Kemiskinan memiliki banyak aspek, termasuk aspek lemahnya sumber daya dan karakter seseorang.
Mekanisme pasar menjadikan harga BBM mengalir sesuai dengan keseimbangan supply dan demand. Perekonomian berjalan lebih alamiah tanpa memicu demonstrasi yang menelan social cost  tidak sedikit. Di sisi yang lain, hasil keuntungan pengelolaan BBM yang dilakukan pemerintah harus betul-betul diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penyalahgunaan pengelolaan minyak bumi dan sumber daya tambang lainnya merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi dan nilai-nilai religi. Semoga bangsa ini kelak mampu mengambil keputusan terbaiknya sehingga mampu mewujudkan baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur, masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Amin. Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah widyaiswara Balai Diklat Keuangan Malang dan
    Doktor Ekonomi Islam alumni UIN Alauddin Makassar


Jumat, 21 November 2008

JABATAN FUNGSIONAL BENDAHARA

JABATAN FUNGSIONAL BENDAHARA
Oleh: Achmat Subekan, S.E., M.Si.
(Widyaiswara Balai Diklat Keuangan VI Makassar)


Reformasi Keuangan Negara

Pengelolaan keuangan di suatu Negara sangat dipengaruhi oleh peraturan perundangan yang mengaturnya. Transparan tidaknya ataupun akuntabel tidaknya pengelolaan keuangan pada suatu Negara harus dilihat terlebih dahulu dari peraturan perundangan yang mengaturnya. Seperti halnya di Indonesia, sejak merdeka hingga tahun 2003 belum memiliki peraturan perundangan yang mampu melahirkan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntable. Pengelolaan keuangan negara pada waktu itu masih didasarkan pada Undang-Undang produk kolonial yang biasa disebut dengan ICW, RAB, dan IAR. Dengan dasar peraturan tersebut pengelolaan keuangan negara pada waktu itu masih belum bisa dikatakan transparan ataupun akuntabel. Sebagai contoh, saat itu pinjaman luar negeri masih dikategorikan sebagai pendapatan, padahal pinjaman tersebut harus kita kembalikan kepada kreditor pada saat jatuh tempo. Pada saat itu pemerintah juga selalu mengatakan bahwa APBN dalam keadaan seimbang walaupun dalam kenyataannya yang sering terjadi adalah anggaran defisit.
Harapan akan lahirnya pengelolaan keuangan negara yang lebih baik muncul pada saat terbitnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dilihat dari prosesnya, ternyata bukan hal yang mudah untuk menerbitkan undang-undang tersebut. Tantangan bukan hanya muncul saat sebelum disetujui oleh DPR. Setelah adanya persetujuan DPR pun masih terdapat pihak-pihak yang merasa keberatan dengan terbitnya undang-undang tersebut. Kedatipun demikian, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tersebut tetap diundangkan dan menjadi landasan bagi pengelolaan keuangan negara pada masa-masa selanjutnya.
Terbitnya Undang-Undang Keuangan Negara telah mendorong terbitnya perangkat hukum pengelolaan keuangan negara lebih lanjut. Undang-undang tersebut antara lain adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan tiga undang-undang tersebut pemerintah/negara telah memiliki pondasi yang cukup guna melakukan pengelolaan Keuangan Negara yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.
Jika dibandingkan dengan peraturan perundangan sebelumnya, paket undang-undang pengelolaan keuangan negara tersebut memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar dan bahkan terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal. Salah satu di antaranya adalah jabatan bendahara (baik bendahara pengeluaran maupun bendahara penerimaan) sebagai jabatan fungsional. Fungsionalisasi jabatan bendahara tidak dikenal dalam peraturan perundangan pengelolaan keuangan negara yang lama. Hal ini menunjukkan begitu urgennya pengelolaan keuangan pada tingkat kantor/satuan kerja sehingga harus dikelola oleh seorang pejabat fungsional, bukan lagi sebagai pekerjaan tambahan ataupun sampingan.


Bendahara Penerimaan/Pengeluaran

Dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara, bendahara penerimaan/pengeluaran merupakan satu-satunya jabatan fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menduduki jabatan tersebut dibutuhkan kemampuan dan profesionalisme yang tinggi. Tuntutan profesionalisme tersebut tergambar jelas pada ayat/pasal-pasal yang mengatur mengenai bendahara, antara lain:
1. bendahara sebagai jabatan fungsional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa “Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Pejabat Fungsional.” 
2. bendahara wajib menolak permintaan bayar yang tidak disertai bukti pengeluaran yang sah. Pasal 21 ayat (4) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan kewenangan ini sebagai berikut: “Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran apabila persyaratan pada ayat (3) tidak dipenuhi”. Sedangkan persyaratan yang dimaksudkan pada ayat (3) tersebut ádalah (a) kelengkapan perintah pembayaran, (b) kebenaran perhitungan tagihan, dan (c) ketersediaan dana. Pasal ini menuntut agar bendahara pengeluaran memiliki independency atau kemandirian dalam tugas/pekerjaannya. Perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran wajib ditolak jika perintah tersebut tidak lengkap atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan walaupun secara struktural bendahara berada di bawah Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
3. bertanggung jawab secara pribadi. Hal ini merupakan warning yang cukup efektif bagi setiap bendahara. Pasal 21 ayat (5) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara menegaskan secara jelas akan hal ini, “Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya”. Atas dasar hal ini, bendahara dituntut untuk bekerja secara hati-hati. Sebab, kesalahan hitung ataupun kesalahan bayar akan menjadi tanggung jawabnya secara pribadi.
4. bendahara dibatasi dalam kegiatan perdagangan. Disebutkan dalam Pasal 10 ayat (5) UU No. 1/2004 bahwa “Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dilarang melakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut.” Pasal ini menuntut seorang bendahara konsentrasi penuh dalam mengemban jabatannya, tanpa membuka kesempatan untuk melakukan pekerjaan tambahan di bidang perdagangan dan sejenisnya. 
5. jika terjadi kerugian negara yang dilakukan oleh bendahara maka pengenaan ganti kerugiannya langsung ditangani oleh BPK. “Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan”, demikian disebutkan dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini berbeda dengan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai bukan bendahara yang ditetapkan sendiri oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Penetapan oleh pihak eksternal (BPK) tentu berbeda secara psikologis maupun dampak yang akan ditanggung oleh pegawai yang bersangkutan.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa jabatan bendahara begitu ”istimewa” dalam pengelolaan keuangan negara.

Fungsionalisasi jabatan bendahara sebagai amanah Undang-Undang

Walaupun UU Keuangan Negara telah terbit tahun 2003 dan UU Perbendaharaan Negara terbit tahun 2004, sampai saat ini dalam prakteknya bendahara belum dikategorikan sebagai jabatan fungsional seperti halnya jabatan guru, dosen, dan peneliti. Sebagai Konsekuensinya bendahara penerimaan/pengeluaran juga tidak mendapatkan tunjangan jabatan. Hal ini mengakibatkan keadaan ideal yang diinginkan oleh undang-undang tidak sepenuhnya dapat terwujud. Bendahara sering kali mengalami kesulitan dalam pelaksanaan tugas pekerjaannya. Beberapa contoh kesulitan yang dihadapi bendahara adalah sebagai berikut:
1. bendahara sering mengalami kesulitan dalam menolak permintaan bayar yang diajukan oleh pimpinan (kuasa pengguna anggaran) walaupun permintaan tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti pembayaran yang sah. Para bendahara secara struktural berada di bawah pimpinan kantor yang notabene adalah kuasa pengguna anggaran. Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3) akan menjadi taruhan jika melakukan penolakan. Atau pimpinan akan melakukan penggantian bendahara dengan berbagai alasan. Sementara itu, sampai saat ini masih cukup banyak pimpinan kantor/satuan kerja yang belum/kurang memahami peraturan perundangan yang baru mengenai pengelolaan keuangan negara pada sebuah .kantor/satuan kerja. 
2. tidak adanya reward/imbalan yang memadai kepada bendahara dapat memicu tindakan yang bertentangan dengan norma dan etika. Di satu sisi para bendahara tidak mendapatkan tunjangan jabatan, sementara itu pada sisi yang lain mereka harus mempertaruhkan semua harta pribadinya jika melakukan tindakan yang merugikan negara. Saat ini para bendahara memang telah menerima honor, namun sebuah jabatan tidak hanya berkaitan dengan honor tetapi juga menyangkut penghargaan, kemandirian, ataupun karier mereka. Konsekuensi dari sebuah jabatan fungsional tidak hanya pada adanya tunjangan jabatan, tetapi lebih dari itu.
3. jika terjadi pemeriksaan keuangan baik oleh aparat pemeriksa internal maupun eksternal, bendahara selalu menjadi objek utama dan pertama untuk diperiksa. Bendahara harus mempertanggungjawabkan semua pengeluaran keuangan yang dikelolanya. Pada saat diperiksa bendahara selalu ”sport jantung” apalagi jika merasa pembukuan atau pengelolaan keuangannya ada yang tidak/kurang benar. Bendahara harus siap-siap terhadap kemungkinan adanya kerugian negara. Jika pemeriksa menemukan kesalahan, tidak jarang pimpinan kantor/satuan kerja ikut-ikutan menyalahkan bendahara. Hal ini merupakan beban psikologis yang tidak ringan.
Hal di atas merupakan contoh kecil kesulitan-kesulitan yang dihadapi para bendahara pada sebuah kantor/satuan kerja pemerintah baik instansi vertikal maupun daerah. Amanat Undang-Undang Perbendaharaan Negara mengenai fungsionalisasi jabatan bendahara sudah mendesak untuk segera direalisasikan. Pasal 70 ayat (1) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan tenggang waktu sampai 1 (satu) tahun, ”Jabatan fungsional bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Walaupun waktu satu tahun tersebut telah lewat, bukan berarti kewajiban Pemerintah untuk merealisasikannya menjadi gugur. Hal ini justru harus memacu Pemerintah untuk segera merealisasikannya.
Reformasi keuangan negara menuntut Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer melakukan perbaikan dan penataan dalam segala hal. Pembenahan dilakukan baik terhadap peraturan perundangan, organisasi, maupun para personil/pegawai di lingkungan Departemen Keuangan. Apapun prioritas saat ini dalam reformasi Keuangan Negara bukan berarti harus mengorbankan program fungsionalisasi jabatan bendahara. Program fungsionalisasi jabatan bendahara yang bermuara pada pengelolaan keuangan yang akuntabel, transparan, dan profesional di tingkat kantor/satuan kerja perlu kiranya mendapatkan prioritas untuk segera diwujudkan. Bahkan fungsinalisasi jabatan bendahara pada akhirnya juga akan mendukung terwujudnya program prioritas pengelolaan keuangan negara yang lainnya.

Instansi Pembina Jabatan Fungsional Bendahara

Pada setiap jabatan fungsional perlu adanya instansi pembina. Jabatan guru/dosen dibina oleh Departemen Pendidikan Nasional, jabatan pranata komputer di bina oleh Badan Pusat Statistik, dan widyaiswara dibina oleh Lembaga Administrasi Negara. Bagaimana halnya dengan jabatan fungsional bendahara yang relatif baru? Undang-Undang Perbendaharaan Negara telah memberikan jawaban. Berdasar penjelasan Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) secara jelas disebutkan bahwa:
“Tugas kebendaharaan sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) meliputi kegiatan menerima, menyimpan, menyetor/membayar/menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan penerimaan/ pengeluaran uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya. Persyaratan pengangkatan dan pembinaan karier bendahara diatur oleh Bendahara Umum Negara selaku Pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara.”

Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.” Dari sini dapat dikatakan bahwa pembinaan bendahara penerimaan/pengeluaran, baik untuk instansi vertikal maupun instansi pemerintah daerah, berada di bawah Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Dalam tugas pokok dan fungsinya Menteri Keuangan menguasakan pada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara. Secara organisatoris Direktorat Jenderal Perbendaharaan memiliki kantor-kantor vertikal di daerah yaitu Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). KPPN berada cukup merata di seluruh wilayah tanah air. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi efektivitas dan efisiensi kegiatan pembinaan bendahara penerimaan/pengeluaran. Pembinaan oleh Ditjen Perbendaharaan dapat berupa bimbingan teknis, sosialisasi, maupun kegiatan serupa lainnya. Dalam pengangkatan seseorang untuk menduduki jabatan fungsional diperlukan adanya persetujuan/rekomendasi dari departemen/lembaga pembina. Persetujuan untuk dapat diangkat sebagai bendahara berada pada Menteri Keuangan selaku Pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara.
Seperti halnya untuk menduduki jabatan lain, baik struktural maupun fungsional, untuk dapat menduduki jabatan fungsional bendahara perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan telah mengikuti dan dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang kebendaharaan negara. Melalui diklat ini seseorang akan terseleksi mampu/tidaknya memangku jabatan sebagai bendahara penerimaan/pengeluaran. Untuk pelaksanaan diklat di bidang kebendaharaan negara tersebut kiranya Ditjen Perbendaharaan perlu berkoordinasi atau bahkan bekerja sama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Badan diklat inilah yang dibentuk Menteri Keuangan guna menangani kediklatan di bidang keuangan negara termasuk diklat kebendaharaan negara sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Dengan terwujudnya jabatan bendahara sebagai jabatan fungsional diharapkan keadaan ideal yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara dapat segera terwujud. Fungsionalisasi jabatan ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk menjadikan bendahara sebagai single power dalam pengelolaan keuangan pada sebuah kantor/satuan kerja Pemerintah. Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan selalu siap untuk mengawal mereka agar selalu proporsional dan profesional dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Semoga upaya untuk merealisasikan hal ini dapat segera membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Amin.